Koran Tempo, (09/02/2022) menurunkan tulisan Saipul Mujani yang membela aliran “sesat” Ahmadiyah. Lewat tulisannya berjudul, “Dalam Bayang-bayang Kuasa Umat”, Saipul Mujani memberikan pembelaan terhadap aliran yang dianggap sesat oleh ulama-ulama dunia.
Saipul tampaknya ‘geram’ melihat isu kekerasan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Saipul sama sekali tak menyinggung mengapa akar masalahnya.
Tentang bagaimana sebenarnya “kegeraman” Saipul, penulis mencoba memaparkannya dalam poin-poin berikut. Kemudian, akan diberikan kritik terhadap pandangannya secara memadai.
Pertama, Saipul menyatakan bahwa “anggota jemaah Ahmadiyah diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama. Wujudnya adalah kebijakan jahat yang dibuat elite tersebut dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, dan dikaitkan dengan undang-undang penistaan agama. Dalam SKB itu, Ahmadiyah jelas kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental sebagai warga negara, yakni kebebasan berkeyakinan dan menjalankannya”.
Pandangan Saipul ini nampaknya mengindikasikan minimnya kecerdasan emosional (emotional quotient) dalam dirinya. Bahkan, pandangannya berbau “tuduhan” tak berdasar. Karena dia memandang bahwa SKB tiga menteri merupakan “kebijakan jahat”. Dengan keluarnya SKB tersebut, Ahmadiyah, menurutnya, kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental, yaitu: kebebasan berkeyakinan.
Mungkin Saipul lupa – atau bisa jadi “pura-pura” lupa – bahwa yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah adalah penistaan dan penodaan terhadap agama Islam. Di mana mereka masih mengaku sebagai “Muslim”, tapi keyakinannya menyimpang jauh dari ajaran Islam, khususnya dalam masalah “kenabian” (al-nubuwwah). Di mana pada tahun 1902, Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) mengklaim dirinya sebagai nabi, dalam satu tulisannya, Tuhafat al-Nadwah, yang ditujukan kepada anggota komunitas Ulama di Lucknow, India.
Selain dalam Tuhfat al-Nadwah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengklaim dirinya disebut sebagai seorang “nabi” oleh Allah. Dia menyatakan, “Allah menyebutku sebagai seorang ‘nabi’ di bawah sinaran kenabian Muhammad (fayadh al-nubuwwah al-Muhammadiyyah). Dan Allah memberikan wahyu kepadaku. Maka, kenabianku adalah kenabiannya.” (Lihat, Mirza Ghulam Ahmad, al-Istitfta’ (Rabwah-Pakistan: Mathba’ah al-Nashrat, 1378 H), hlm. 16-17).
Dari sana dapat dipahami dengan baik bahwa yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah “merusak” akidah Islam yang sahih. Apakah seseorang atau komunitas dapat merusak akidah (keyakinan) satu agama, kemudian dia mengklaim berada dalam agama – yang dinodai – tersebut? tentu tidak demikian.
Kedua, Saipul juga menyatakan, “Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.
Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu,”begitu tulisnya.
Sejatinya, pandangan Saipul Mujani di atas memiliki lompatan logika yang amat akrobatik. Satu, dia mengandaikan bahwa yang merumuskan doktrin (ajaran) Islam adalah ummat Islam sendiri. Bukan Allah atau Nabi Muhammad. Pandangan seperti ini jelas keliru. Karena Allah yang membuat ajaran Islam kemudian dijelaskan oleh nabi-Nya dalam untaian sunnah-sunnah beliau, maka ummat Islam tidak boleh melanggar sedikitpun.
Bukankah Nabi Muhammad pernah bersabda, “Akan muncul di tengah-tengah ummatku 30 orang dajjal. Seluruhnya mengakau sebagai “nabi Allah”. Padahal, aku adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi setelahku.” (HR. al-Tirmidzi, 3/338).
Sabda Rasulullah senada banyak sekali ditemukan dalam buku-buku hadits, karena diriwayatkan oleh para Muhadditsun terkemuka, semisal: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Imam Ibn Hibban, Imam Abu Dawud, Imam al-Hakim, dan yang lainnya. Seluruhnya mengeluarkan sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa “tidak ada nabi setelah beliau”.
Dan perlu dicatat bahwa apa yang beliau lakukan adalah perintah Allah dalam Qs. al-Ahzab (33): 40. Di mana beliau adalah utusan Allah (rasulullah) dan penutup para nabi (khatam al-nabiyyin).
Kesalahan fatal yang juga dilakukan oleh Saipul Mujani dengan mengatakan Islam adalah “buatan para ulama”. Satu pernyataan yang amat gegabah, yang lahir dari seorang Muslim Pluralis, Liberal, dan Relativis. Bagi seorang Muslim, akidah Islam sudah jelas, bahwa ulama hanya menyampaikan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) dan sabda Rasulullah tentang Islam, bukan menafsirkan Islam tanpa sandaran.
Apakah kemudian penafsiran ulama tentang Islam dapat disebut sebagai ajaran Islam? Tentu tidak. Apalagi jika penafsiran itu bertolak-belakang dengan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad.
Kalaupun mereka “berijtihad”, ijtihad mereka tidak bisa lepas dari dua sandaran penting dan fundamental: al-Qur’an dan Sunnah (Mengenai kedudukan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama dan supreme dalam Islam, simak dalam karya Syeikh Yusuf al-Qaradawi, al-Marja’iyyat al-`Ulya fi al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah: Dhawabith wa Mahadzir fi al-Fahm wa al-Tafsir (Cairo: Maktabah Wahbah, 1993).
Ketiga, tuduhan lain yang juga dialamatkan kepada Islam oleh Saipul Mujani adalah: para elit negara takut kepada ummat Islam. Karena jika membela Ahmadiyah, mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi ummat Islam.
Padahal, yang benar, sejak kehadiran aliran Ahmadiyah ke Indonesia (baik sekte Qadyani maupun Lahore, kira-kira tahun 1926 atau 1926) ummat Islam sudah merasakan ada yang tidak beres dalam tubuh aliran yang difatwa sesat oleh ulama sedunia. Karena klaim-klaim Mirza Ghulam Ahmad yang disebarkan secara terbuka, membuat ummat Islam merasakan ada ‘musuh dalam selimut’. Karena sejak awal, Jemaat Ahmadiyah mengaku sebagai “Muslim”, tapi keyakinannya bertentangan dengan akidah ummat Islam yang sahih menurut al-Qur’an dan Sunnah. (Untuk membuktikan bagaimana pertentangan ajaran Ahmadiyah dengan Islam, bandingkan saja konsep kanabian, doktrin al-Masih al-Maw`ud dengan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad mengenai hal ini).
Jadi, apa yang dikatakan oleh Saipul Mujani adalah “fitnah” dan “kebohongan” belaka. Apa yang dilakukannya adalah mencari simpatik, agar para elit negara membenarkan logikanya yang salah dan keliru. Padahal, siapa saja yang mau merunut sejarah masuknya Ahmadiyah ke Indonesia akan paham dengan baik bahwa Ahmadiyah telah merusak perasaan dan ketentraman keurukunan ummat beragama – khususnya ummat Islam – di Indonesia.
Keempat, Saipul Mujani juga sempat menyatakan, “Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.”
Di sini, Saipul Mujani kembali melancarkan tuduhannya yang tak berdasar bahwa para ulama yang menurutnya “awam dengan tafsir Islam”. Padahal apa yang dilakukannya justru tidak menafsirkan apa-apa. Yang dia lakukan lewat tulisannya adalah “membela” kesesatan Ahmadiyah. Bukankah orang yang membela “kesesatan” lebih sesat lagi? Sama halnya dengan orang yang membela kebodohan, bukan ia lebih bodoh dari yang dibelanya itu? Dan dalam kasus Ahmadiyah, bukan paham alternatif tentang Islam yang ada, melainkan alternatif kejahilan: pilih kebenaran Islam atau kesesatan Ahmadiyah.
Kelima, masalah perbedaan pendapat mengenai akal dan wahyu, Saipul Mujani mengungkap kembali perdebatan “klasik” antara Asy`ariyah dan Mu`tazilah. Apa katanya?
Kata Saipul Mujani, “juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu`tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, “tidak ada Tuhan selain Aku”; “Aku adalah Tuhan”, dan seterusnya.
Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka,” tulis Saipul.
Dari pandangannya di atas, nampak jelas betapa “keblingernya” Saipul Mujani. Pandangannya begitu naïf, terlalu dipaksakan hanya gara-gara mendukung Jemaat Ahmadiyah yang menyimpang. Saipul Mujani mungkin lupa bahwa pandangan Mu`tazilah tentang “kemakhlukan” Al-Qur’an (khalq al-Qur’an) tidak didasarkan pada doktrin agama, melainkan politik. Lebih dari itu, adanya ide khalq al-Qur’an Mu`tazilah tidak murni dalam ranah akidah (teologi) melainkan pengaruh penganut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen setelah wafatnya Nabi s.a.w. 20 atau 30 kemudian. (Lihat, Dr. Shalah al-Din Basyuni Ruslan, al-Qur’an al-Hakim: Ru’yah Jadidah li Mabahits al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar Qubba’, cet. III, 1999, hlm. 177-178).
Lebih dari itu, Dr. Ahmad Hijazi al-Saqaa melakukan penelitian mengenai doktrin khalq al-Qur’an Mu`tazilah ini. Dan hasilnya, ternyata Mu`tazilah dipengaruhi oleh teologi Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu, menurut Ibn al-Atsir, yang menyebarkan ide khalq al-Qur’an di antaranya adalah Labid ibn al-A`sham, musah Nabi Muhammad yang paling keras: yang menyatakan khalq al-Tawrah (Taurat itu makhluk. Idenya kemudian diadopsi oleh keponakannya, Thalut, seorang zindiq (atheis), yang pertama kali menyatakan khalq al-Qur’an dalam Islam.
Imam Khathib al-Baghdadi juga menyatakan bahwa Basyr al-Murisi, seorang Murji’ah-Mu`tazilah adalah seorang propagandis ide khalq al-Qur’an. Ayahnya ternyata seorang Yahudi yang bekerja sebagai tukang “celupa” (sablon_red) di Kufah. Ibn Qutaybah juga meriwayatkan bahwa salah seorang pengusung ide khalq al-Qur’an adalah al-Mughirah ibn Sa`id al-`Ajali, seorang pengikut `Abdullah ibn Saba’ si Yahudi. (Lebih jelas, lihat Dr. Ahmad Hijazi al-Saqaa, al-Mu`tazilah: Qira’ah fi Makhthuthath al-Bahr al-Mayyit (Cairo: Dar al-Buruj, cet. I, 2003, hlm. 91, 135).
Jadi, sejarahnya panjang. Tidak sesederhana kesimpulan Saipul Mujani. Padahal pandangan seperti ini adalah misleading (keliru) dapat dapat menyesatkan opini orang banyak. Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa masalah akal dan wahyu antara Asy`ariyah dan Mu`tazilah hanya melahirkan ide khalq al-Qur’an: apakah dia qadim atau makhluq. Karena di sana ada politik yang bermain. Dan ummat Islam sampai hari yang menelan pil pahit “fitnah” (ujian) ide khalq al-Qur’an yang tak berdasar itu.
Masalah Yazid al-Bisthami maupun al-Hallaj juga tidak sesederhana yang disimpulkan Saipul Mujani. Kemudian itu dianggap hal biasa. Padahal, masalah Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, plus – jika boleh– Suhrawardi pemikirannya dianggap “menyimpang” oleh para ulama. Dan perlu diingat bahwa pandangan mereka bukan meanstreami (arus utama) dalam pemikiran Islam. Landasan pemikiran mereka juga bukan “tauhid” yang jelas, melainkan hasil adopsi dari berbagai budaya asing kuno, seperti: India dan Majusi yang mengganut paham wahdat al-wujud, al-hulul, dan aliran-aliran menyimpang yang tidak dikenal dan tidak diakui oleh Islam. Namun demikian, pandangan mereka dikritik oleh kaum Muslimin, terutama dari sisi tujuan dan target mereka. Dan tentunya selain al-Hallaj dan Suhrawardi amat banyak. (Lihat, Anwar al-Jundi, Syubuhat fi al-Fikr al-Islami (Emirat Arab: al-Ittihad al-Wathani li Thalabah al-Imarat, hlm. 29-30).
Dan tentunya, orang-orang yang mengklaim sebagai “nabi” keluar dari ajaran Islam. Dan itu, menurut Allah, merupakan tindakan kezaliman yang amat besar. Karena dia telah merekayasa kebenaran menurut hawa nafsunya. Dimana akhirnya: dia mengaku mendapatkan wahyu, padahal tidak mendapatkan apa-apa. (Qs. al-An`am (6): 93). Konon lagi orang-orang yang mengaku sebagai “Allah”. Betapa “sesatnya” orang-orang yang mendaku sebagai “tuhan” selain Allah. Jika pun klaim sebagai “Allah” ada dalam Islam, itu adalah pandangan yang menyimpang, bukan berarti itu benar dan dapat dibenarkan.
Keenam, tuduhan keji Saipul Mujani juga dapat kita lihat dari pernyataannya, “Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.
Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.”
Pandangan Saipul Mujani di atas amat “provokatif”. Ia ingin menimbulkan fitnah baru, bahwa ummat Islam di Indonesia adalah ‘ciptaan’ para ulama. Satu pandangan yang penuh dengan kebencian terpendam. Satu pandangan yang mengandaikan bahwa seluruh prangkat negara berada dalam “cengkraman” para ulama Muslim. Sejatinya, sebagai seorang akademisi, pendapat ini tidak seharusnya muncul. Karena hanya memicu lahirnya pandangan yang kontro-produktif di tengah-tengah ummat yang tengah membutuhkan solusi jitu dan sarat manfaat ke depan.
Budaya Menolak Kebenaran
Para ulama memang memiliki “toleransi” yang tinggi dalam masalah perbedaan pendapat. Oleh karenanya mereka terbiasa dengan dialog (al-hiwar) dalam melihat pandangan mana yang benar dan keliru. Dan perlu dicatat bahwa para ulama Islam bermartabat selalu mengikuti “kebenaran” ketika dalam satu dialog ditemukan. Bukan mengingkari kebenaran dengan dalih “relativisme” kebenaran.
Karena kebiasaan orang liberal-relativis selalu menolak kebenaran, jika argumentasi mereka terpatahkan. Maka muncullah istilah-istilah aneh, seperti: “Itu kan penafsiran Anda, orang juga boleh punya penafsiran.” Atau, “Itu kan pemahaman Anda, bisa jadi pemahaman Anda keliru.” Kadang kala, “Itu kan menurut Anda, menurut saya lain lagi.”
Dalam kasus Ahmadiyah bukan tidak pernah dilakukan dialog. Tapi ketika Jemaat Ahmadiyah terpojok, mereka menyatakan, “Masalah kenabian hanya beda perspektif saja.”
Alangkah jauhnya jika dibandingkan dengan kebesaran jiwa seorang Qadhi (hakim) Basrah (Iraq), `Ubdaydillah ibn Hassan al-Anbary (105-168 H) yang “mencabut” pendapatnya ketika keliru dan dibenarkan oleh salah seorang muridnya sembari berkata, “Sungguh, menjadi ekor dalam kebenaran lebih aku sukai daripada menjadi kepala dalam kebatilan.”
Begitu juga, amat jauh jika disejajarkan dengan `Izzuddin `Abdul `Aziz ibn `Abdus Salam (577-660 H) yang digelar Sulthan al-`Ulama’ (Sultan Para `Ulama’). Ketika dia tahu bahwa fatwanya “keliru”, dia pun keliling kota Kairo (Mesir) sambil berseru kepada setiap orang, “Wahai, siapa saja yang menerima pernyataan demikian-demikian dari orang lain, janganlah diamalkan karena ternyata fatwa itu keliru!” Subhanallah! Dan mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama, ini perlu digaribawahi. Bahwa perbedaan diantara mereka hanya pada tataran “cabang ajaran agama” (al-furu`) bukan pada hal-hal substantial atau fundamental (al-ushul). Oleh karena itu, tidak pernah ada perbedaan pendapat bahwa Nabi Muhammad adalah khatam al-nabiyyin.
Bertolak-belakang dengan itu, fenomena yang ada sekarang adalah: budaya menolak kebenaran dan menerima kebatilan dengan dalih “kebebasan berpendapat”. Maka sah-sah saja jika ada yang menolak pandangan dan pendapat orang lain, meskipun pandangan itu yang benar. Toh semuanya, seperti kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika, “All is relative” (semuanya adalah relatif). Semuanya adalah hanya beda penafsiran, maka tidak ada yang mutlak dan absolut.
Akhirul kalam, penulis menyimpulkan, ketakutan Saipul Mujani-lah yang berlebihan melihat reaksi terhadap Ahmadiyah saat ini. Dia khawatir jika konsep HAM-Barat tak bisa lulus dan diterima dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.
Padahal memang sudah terbukti bahwa HAM-Barat hanya merugikan “ummat Islam”, tidak lebih. Itu sebabnya mengapa sekarang banyak yang “membela” Ahmadiyah dan “menghujat” ummat Islam. Ironisnya, yang “membela” Ahmadiyah dan “menghujat” ummat Islam justru akademisi Muslim sendiri. Menyedihkan!
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Penulis adalah guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Sekarang tengah menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor-Jawa Timur
Saipul tampaknya ‘geram’ melihat isu kekerasan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Saipul sama sekali tak menyinggung mengapa akar masalahnya.
Tentang bagaimana sebenarnya “kegeraman” Saipul, penulis mencoba memaparkannya dalam poin-poin berikut. Kemudian, akan diberikan kritik terhadap pandangannya secara memadai.
Pertama, Saipul menyatakan bahwa “anggota jemaah Ahmadiyah diburu, dikepung ruang geraknya, seperti binatang. Bukan hanya oleh orang-orang di lapisan bawah, tapi juga oleh elite negara dan ulama. Wujudnya adalah kebijakan jahat yang dibuat elite tersebut dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, dan dikaitkan dengan undang-undang penistaan agama. Dalam SKB itu, Ahmadiyah jelas kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental sebagai warga negara, yakni kebebasan berkeyakinan dan menjalankannya”.
Pandangan Saipul ini nampaknya mengindikasikan minimnya kecerdasan emosional (emotional quotient) dalam dirinya. Bahkan, pandangannya berbau “tuduhan” tak berdasar. Karena dia memandang bahwa SKB tiga menteri merupakan “kebijakan jahat”. Dengan keluarnya SKB tersebut, Ahmadiyah, menurutnya, kehilangan hak-hak asasinya yang paling fundamental, yaitu: kebebasan berkeyakinan.
Mungkin Saipul lupa – atau bisa jadi “pura-pura” lupa – bahwa yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah adalah penistaan dan penodaan terhadap agama Islam. Di mana mereka masih mengaku sebagai “Muslim”, tapi keyakinannya menyimpang jauh dari ajaran Islam, khususnya dalam masalah “kenabian” (al-nubuwwah). Di mana pada tahun 1902, Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) mengklaim dirinya sebagai nabi, dalam satu tulisannya, Tuhafat al-Nadwah, yang ditujukan kepada anggota komunitas Ulama di Lucknow, India.
Selain dalam Tuhfat al-Nadwah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengklaim dirinya disebut sebagai seorang “nabi” oleh Allah. Dia menyatakan, “Allah menyebutku sebagai seorang ‘nabi’ di bawah sinaran kenabian Muhammad (fayadh al-nubuwwah al-Muhammadiyyah). Dan Allah memberikan wahyu kepadaku. Maka, kenabianku adalah kenabiannya.” (Lihat, Mirza Ghulam Ahmad, al-Istitfta’ (Rabwah-Pakistan: Mathba’ah al-Nashrat, 1378 H), hlm. 16-17).
Dari sana dapat dipahami dengan baik bahwa yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad adalah “merusak” akidah Islam yang sahih. Apakah seseorang atau komunitas dapat merusak akidah (keyakinan) satu agama, kemudian dia mengklaim berada dalam agama – yang dinodai – tersebut? tentu tidak demikian.
Kedua, Saipul juga menyatakan, “Umat Islam adalah kolektivitas yang dibayangkan hidup, punya logika, dan punya jalan pikiran sendiri. Ia punya sikap tentang apa itu Islam dan apa itu bukan Islam. Barang siapa yang memahami Islam di luar pemahamannya dianggap mengancam Islam dan umat Islam dan, karena itu, harus dikeluarkan. Bila tidak mau keluar, tetap bernaung dalam nama Islam, ia dinilai pantas dimusnahkan.
Sikap umat seperti ini sebenarnya diciptakan dalam sejarah oleh sebuah otoritas agama atau ulama dan negara atas dasar penafsiran yang dinilai berlaku umum dalam tradisi otoritas tersebut. Peran ulama adalah membentuk paham-paham Islam mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sampai di situ tidak apa-apa. Tapi, ketika otoritas agama ini punya kekuasaan atau bisa menggunakan kekuasaan negara, paham tersebut bisa punya daya paksa dan bahkan daya musnah seperti yang kita saksikan di Pandeglang itu,”begitu tulisnya.
Sejatinya, pandangan Saipul Mujani di atas memiliki lompatan logika yang amat akrobatik. Satu, dia mengandaikan bahwa yang merumuskan doktrin (ajaran) Islam adalah ummat Islam sendiri. Bukan Allah atau Nabi Muhammad. Pandangan seperti ini jelas keliru. Karena Allah yang membuat ajaran Islam kemudian dijelaskan oleh nabi-Nya dalam untaian sunnah-sunnah beliau, maka ummat Islam tidak boleh melanggar sedikitpun.
Bukankah Nabi Muhammad pernah bersabda, “Akan muncul di tengah-tengah ummatku 30 orang dajjal. Seluruhnya mengakau sebagai “nabi Allah”. Padahal, aku adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi setelahku.” (HR. al-Tirmidzi, 3/338).
Sabda Rasulullah senada banyak sekali ditemukan dalam buku-buku hadits, karena diriwayatkan oleh para Muhadditsun terkemuka, semisal: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Imam Ibn Hibban, Imam Abu Dawud, Imam al-Hakim, dan yang lainnya. Seluruhnya mengeluarkan sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa “tidak ada nabi setelah beliau”.
Dan perlu dicatat bahwa apa yang beliau lakukan adalah perintah Allah dalam Qs. al-Ahzab (33): 40. Di mana beliau adalah utusan Allah (rasulullah) dan penutup para nabi (khatam al-nabiyyin).
Kesalahan fatal yang juga dilakukan oleh Saipul Mujani dengan mengatakan Islam adalah “buatan para ulama”. Satu pernyataan yang amat gegabah, yang lahir dari seorang Muslim Pluralis, Liberal, dan Relativis. Bagi seorang Muslim, akidah Islam sudah jelas, bahwa ulama hanya menyampaikan ayat-ayat Allah (al-Qur’an) dan sabda Rasulullah tentang Islam, bukan menafsirkan Islam tanpa sandaran.
Apakah kemudian penafsiran ulama tentang Islam dapat disebut sebagai ajaran Islam? Tentu tidak. Apalagi jika penafsiran itu bertolak-belakang dengan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad.
Kalaupun mereka “berijtihad”, ijtihad mereka tidak bisa lepas dari dua sandaran penting dan fundamental: al-Qur’an dan Sunnah (Mengenai kedudukan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama dan supreme dalam Islam, simak dalam karya Syeikh Yusuf al-Qaradawi, al-Marja’iyyat al-`Ulya fi al-Islam li al-Qur’an wa al-Sunnah: Dhawabith wa Mahadzir fi al-Fahm wa al-Tafsir (Cairo: Maktabah Wahbah, 1993).
Ketiga, tuduhan lain yang juga dialamatkan kepada Islam oleh Saipul Mujani adalah: para elit negara takut kepada ummat Islam. Karena jika membela Ahmadiyah, mereka takut dinilai merusak Islam, dan takut dimusuhi ummat Islam.
Padahal, yang benar, sejak kehadiran aliran Ahmadiyah ke Indonesia (baik sekte Qadyani maupun Lahore, kira-kira tahun 1926 atau 1926) ummat Islam sudah merasakan ada yang tidak beres dalam tubuh aliran yang difatwa sesat oleh ulama sedunia. Karena klaim-klaim Mirza Ghulam Ahmad yang disebarkan secara terbuka, membuat ummat Islam merasakan ada ‘musuh dalam selimut’. Karena sejak awal, Jemaat Ahmadiyah mengaku sebagai “Muslim”, tapi keyakinannya bertentangan dengan akidah ummat Islam yang sahih menurut al-Qur’an dan Sunnah. (Untuk membuktikan bagaimana pertentangan ajaran Ahmadiyah dengan Islam, bandingkan saja konsep kanabian, doktrin al-Masih al-Maw`ud dengan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad mengenai hal ini).
Jadi, apa yang dikatakan oleh Saipul Mujani adalah “fitnah” dan “kebohongan” belaka. Apa yang dilakukannya adalah mencari simpatik, agar para elit negara membenarkan logikanya yang salah dan keliru. Padahal, siapa saja yang mau merunut sejarah masuknya Ahmadiyah ke Indonesia akan paham dengan baik bahwa Ahmadiyah telah merusak perasaan dan ketentraman keurukunan ummat beragama – khususnya ummat Islam – di Indonesia.
Keempat, Saipul Mujani juga sempat menyatakan, “Ketakutan elite negara, yang umumnya awam dengan tafsir Islam, itu semakin menjadi-jadi karena hampir tidak ada ulama tandingan dari umat Islam yang berpengaruh untuk menyampaikan paham alternatif terhadap pandangan tentang Islam yang dinilai umum tersebut. Kita tahu ada sejumlah ulama atau intelektual yang menoleransi adanya perbedaan paham dalam Islam, termasuk yang berkaitan dengan akidah, karena mereka tahu bahwa perbedaan semacam itu punya sejarah yang panjang dalam tradisi Islam. Dan sah adanya.”
Di sini, Saipul Mujani kembali melancarkan tuduhannya yang tak berdasar bahwa para ulama yang menurutnya “awam dengan tafsir Islam”. Padahal apa yang dilakukannya justru tidak menafsirkan apa-apa. Yang dia lakukan lewat tulisannya adalah “membela” kesesatan Ahmadiyah. Bukankah orang yang membela “kesesatan” lebih sesat lagi? Sama halnya dengan orang yang membela kebodohan, bukan ia lebih bodoh dari yang dibelanya itu? Dan dalam kasus Ahmadiyah, bukan paham alternatif tentang Islam yang ada, melainkan alternatif kejahilan: pilih kebenaran Islam atau kesesatan Ahmadiyah.
Kelima, masalah perbedaan pendapat mengenai akal dan wahyu, Saipul Mujani mengungkap kembali perdebatan “klasik” antara Asy`ariyah dan Mu`tazilah. Apa katanya?
Kata Saipul Mujani, “juga kita ingat perdebatan besar para ulama Asyariah dan Mu`tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis). Kita juga tahu ada ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, “tidak ada Tuhan selain Aku”; “Aku adalah Tuhan”, dan seterusnya.
Itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan yang mengaku sebagai nabi, yang mengaku dirinya sebagai Allah saja ada. Jangankan perbedaan paham dalam menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman mereka,” tulis Saipul.
Dari pandangannya di atas, nampak jelas betapa “keblingernya” Saipul Mujani. Pandangannya begitu naïf, terlalu dipaksakan hanya gara-gara mendukung Jemaat Ahmadiyah yang menyimpang. Saipul Mujani mungkin lupa bahwa pandangan Mu`tazilah tentang “kemakhlukan” Al-Qur’an (khalq al-Qur’an) tidak didasarkan pada doktrin agama, melainkan politik. Lebih dari itu, adanya ide khalq al-Qur’an Mu`tazilah tidak murni dalam ranah akidah (teologi) melainkan pengaruh penganut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen setelah wafatnya Nabi s.a.w. 20 atau 30 kemudian. (Lihat, Dr. Shalah al-Din Basyuni Ruslan, al-Qur’an al-Hakim: Ru’yah Jadidah li Mabahits al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar Qubba’, cet. III, 1999, hlm. 177-178).
Lebih dari itu, Dr. Ahmad Hijazi al-Saqaa melakukan penelitian mengenai doktrin khalq al-Qur’an Mu`tazilah ini. Dan hasilnya, ternyata Mu`tazilah dipengaruhi oleh teologi Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu, menurut Ibn al-Atsir, yang menyebarkan ide khalq al-Qur’an di antaranya adalah Labid ibn al-A`sham, musah Nabi Muhammad yang paling keras: yang menyatakan khalq al-Tawrah (Taurat itu makhluk. Idenya kemudian diadopsi oleh keponakannya, Thalut, seorang zindiq (atheis), yang pertama kali menyatakan khalq al-Qur’an dalam Islam.
Imam Khathib al-Baghdadi juga menyatakan bahwa Basyr al-Murisi, seorang Murji’ah-Mu`tazilah adalah seorang propagandis ide khalq al-Qur’an. Ayahnya ternyata seorang Yahudi yang bekerja sebagai tukang “celupa” (sablon_red) di Kufah. Ibn Qutaybah juga meriwayatkan bahwa salah seorang pengusung ide khalq al-Qur’an adalah al-Mughirah ibn Sa`id al-`Ajali, seorang pengikut `Abdullah ibn Saba’ si Yahudi. (Lebih jelas, lihat Dr. Ahmad Hijazi al-Saqaa, al-Mu`tazilah: Qira’ah fi Makhthuthath al-Bahr al-Mayyit (Cairo: Dar al-Buruj, cet. I, 2003, hlm. 91, 135).
Jadi, sejarahnya panjang. Tidak sesederhana kesimpulan Saipul Mujani. Padahal pandangan seperti ini adalah misleading (keliru) dapat dapat menyesatkan opini orang banyak. Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa masalah akal dan wahyu antara Asy`ariyah dan Mu`tazilah hanya melahirkan ide khalq al-Qur’an: apakah dia qadim atau makhluq. Karena di sana ada politik yang bermain. Dan ummat Islam sampai hari yang menelan pil pahit “fitnah” (ujian) ide khalq al-Qur’an yang tak berdasar itu.
Masalah Yazid al-Bisthami maupun al-Hallaj juga tidak sesederhana yang disimpulkan Saipul Mujani. Kemudian itu dianggap hal biasa. Padahal, masalah Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, plus – jika boleh– Suhrawardi pemikirannya dianggap “menyimpang” oleh para ulama. Dan perlu diingat bahwa pandangan mereka bukan meanstreami (arus utama) dalam pemikiran Islam. Landasan pemikiran mereka juga bukan “tauhid” yang jelas, melainkan hasil adopsi dari berbagai budaya asing kuno, seperti: India dan Majusi yang mengganut paham wahdat al-wujud, al-hulul, dan aliran-aliran menyimpang yang tidak dikenal dan tidak diakui oleh Islam. Namun demikian, pandangan mereka dikritik oleh kaum Muslimin, terutama dari sisi tujuan dan target mereka. Dan tentunya selain al-Hallaj dan Suhrawardi amat banyak. (Lihat, Anwar al-Jundi, Syubuhat fi al-Fikr al-Islami (Emirat Arab: al-Ittihad al-Wathani li Thalabah al-Imarat, hlm. 29-30).
Dan tentunya, orang-orang yang mengklaim sebagai “nabi” keluar dari ajaran Islam. Dan itu, menurut Allah, merupakan tindakan kezaliman yang amat besar. Karena dia telah merekayasa kebenaran menurut hawa nafsunya. Dimana akhirnya: dia mengaku mendapatkan wahyu, padahal tidak mendapatkan apa-apa. (Qs. al-An`am (6): 93). Konon lagi orang-orang yang mengaku sebagai “Allah”. Betapa “sesatnya” orang-orang yang mendaku sebagai “tuhan” selain Allah. Jika pun klaim sebagai “Allah” ada dalam Islam, itu adalah pandangan yang menyimpang, bukan berarti itu benar dan dapat dibenarkan.
Keenam, tuduhan keji Saipul Mujani juga dapat kita lihat dari pernyataannya, “Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan ketakutan di seantero negeri, termasuk kepada para jenderal yang paham keislamannya dari tradisi abangan itu.
Para elite negara begitu takut kepada umat Islam yang maknanya ciptaan para ulama itu. Mereka begitu percaya, kalau melawan paham ulama itu, mereka akan ditinggalkan umat Islam, yang membentuk hampir seluruh penduduk negeri ini. Kalau ditinggalkan, apalagi dimusuhi umat yang buatan ulama itu, habislah riwayat petinggi negara yang nasibnya bergantung pada pilihan umat itu, apakah itu presiden, anggota DPR, gubernur, maupun bupati. Pejabat-pejabat negara lainnya yang tak dipilih umat, seperti yang duduk di Mahkamah Konstitusi, kejaksaan, kepolisian, dan kementerian, juga takut karena bergantung pada para pejabat yang dipilih umat tersebut. Umat berkuasa, dan membuat takut seantero negeri.”
Pandangan Saipul Mujani di atas amat “provokatif”. Ia ingin menimbulkan fitnah baru, bahwa ummat Islam di Indonesia adalah ‘ciptaan’ para ulama. Satu pandangan yang penuh dengan kebencian terpendam. Satu pandangan yang mengandaikan bahwa seluruh prangkat negara berada dalam “cengkraman” para ulama Muslim. Sejatinya, sebagai seorang akademisi, pendapat ini tidak seharusnya muncul. Karena hanya memicu lahirnya pandangan yang kontro-produktif di tengah-tengah ummat yang tengah membutuhkan solusi jitu dan sarat manfaat ke depan.
Budaya Menolak Kebenaran
Para ulama memang memiliki “toleransi” yang tinggi dalam masalah perbedaan pendapat. Oleh karenanya mereka terbiasa dengan dialog (al-hiwar) dalam melihat pandangan mana yang benar dan keliru. Dan perlu dicatat bahwa para ulama Islam bermartabat selalu mengikuti “kebenaran” ketika dalam satu dialog ditemukan. Bukan mengingkari kebenaran dengan dalih “relativisme” kebenaran.
Karena kebiasaan orang liberal-relativis selalu menolak kebenaran, jika argumentasi mereka terpatahkan. Maka muncullah istilah-istilah aneh, seperti: “Itu kan penafsiran Anda, orang juga boleh punya penafsiran.” Atau, “Itu kan pemahaman Anda, bisa jadi pemahaman Anda keliru.” Kadang kala, “Itu kan menurut Anda, menurut saya lain lagi.”
Dalam kasus Ahmadiyah bukan tidak pernah dilakukan dialog. Tapi ketika Jemaat Ahmadiyah terpojok, mereka menyatakan, “Masalah kenabian hanya beda perspektif saja.”
Alangkah jauhnya jika dibandingkan dengan kebesaran jiwa seorang Qadhi (hakim) Basrah (Iraq), `Ubdaydillah ibn Hassan al-Anbary (105-168 H) yang “mencabut” pendapatnya ketika keliru dan dibenarkan oleh salah seorang muridnya sembari berkata, “Sungguh, menjadi ekor dalam kebenaran lebih aku sukai daripada menjadi kepala dalam kebatilan.”
Begitu juga, amat jauh jika disejajarkan dengan `Izzuddin `Abdul `Aziz ibn `Abdus Salam (577-660 H) yang digelar Sulthan al-`Ulama’ (Sultan Para `Ulama’). Ketika dia tahu bahwa fatwanya “keliru”, dia pun keliling kota Kairo (Mesir) sambil berseru kepada setiap orang, “Wahai, siapa saja yang menerima pernyataan demikian-demikian dari orang lain, janganlah diamalkan karena ternyata fatwa itu keliru!” Subhanallah! Dan mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama, ini perlu digaribawahi. Bahwa perbedaan diantara mereka hanya pada tataran “cabang ajaran agama” (al-furu`) bukan pada hal-hal substantial atau fundamental (al-ushul). Oleh karena itu, tidak pernah ada perbedaan pendapat bahwa Nabi Muhammad adalah khatam al-nabiyyin.
Bertolak-belakang dengan itu, fenomena yang ada sekarang adalah: budaya menolak kebenaran dan menerima kebatilan dengan dalih “kebebasan berpendapat”. Maka sah-sah saja jika ada yang menolak pandangan dan pendapat orang lain, meskipun pandangan itu yang benar. Toh semuanya, seperti kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika, “All is relative” (semuanya adalah relatif). Semuanya adalah hanya beda penafsiran, maka tidak ada yang mutlak dan absolut.
Akhirul kalam, penulis menyimpulkan, ketakutan Saipul Mujani-lah yang berlebihan melihat reaksi terhadap Ahmadiyah saat ini. Dia khawatir jika konsep HAM-Barat tak bisa lulus dan diterima dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.
Padahal memang sudah terbukti bahwa HAM-Barat hanya merugikan “ummat Islam”, tidak lebih. Itu sebabnya mengapa sekarang banyak yang “membela” Ahmadiyah dan “menghujat” ummat Islam. Ironisnya, yang “membela” Ahmadiyah dan “menghujat” ummat Islam justru akademisi Muslim sendiri. Menyedihkan!
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Penulis adalah guru Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Sekarang tengah menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor-Jawa Timur
0 komentar:
Post a Comment